Jumat, 10 April 2009

Tentang Pendidikan

Barang siapa yang memisahkan diri dari ulamamaka akan matilah hatinya serta ia buta akan ta’at kepada Allah.

Maulid Diba’iy

Para Ulama adalah pribadi yang matang. Dengan warisan ilmu yang beliau dapatkan dari para Nabi alam pemikirannya sangatlah mengagumkan. Saat penulis menerima pelajaran Alfiyah ( Nahwu/Tatabahasa Arab ) banyak sekali contohcontoh penjelas tatabahasa tetapi contoh tersebut sekaligus memiliki muatan ilmu lain, utamanya akhlaq.

Andai hal di atas terjadi dalam pelajaran tata bahasa Indonesia tentu tidaklah mengherankan. Akan tetapi Bahasa Arab yang notabene memiliki aturan lebih rumit di mana didalamnya juga kaidah tentang i’rab ( menentukan cara membaca huruf akhir kalimah ) maka hal tersebut memiliki kesulitan yang tinggi.

Demikian juga dengan Asy Syaikh al Jaliil yang menyusun Maulid Diba’iy. Meski secara sederhana Maulid Diba’iy bisa dipandang sebagai sebuah buku biografi dan kumpulan sholawat, muatan yang terkandung di dalamnya memiliki dimensi pandang, yang jika kita arif, memberikan pedoman kepada kita tentang bagaimana melaksanakan sebuah pembangunan sumberdaya manusia.

Mungkin berlebihan mukaddimah yang penulis paparkan ini. Tetapi tulisan ini membuka diri ( dengan segala hormat ) bagi setiap komentar yang dilalandasi alasan rasional dan bertanggung jawab. Kejernihan berfikir selalu kita perlukan untuk mendapatkan sebuah sintesa yang baik.

Berikut salah sebuah pemikiran yang dapat kita kembangkan dari Maulid Diba’iy.

Tentang pendidikan.

Dalam kisah pembedahan yang dilakukan oleh para malaikat atas diri Muhammad, Syaikh Abdurrahman ad Diba’iy menyatakan : Maka mereka 1)membaringkannya dengan penuh sayang, dan membedah perutnya dengan lembut. Lalu para malaikat 2)mengeluarkan hati pemimpin anak keturunan Adnan, dan 3)melapangkannya dengan pisau ihsan, mereka 4)mengambil dari dalamnya hal-hal yang merupakan bagian dari syaitan, kemudian mereka 5)memenuhinya dengan sifat bijak, ilmu dan ridlo.”

  1. Membaringkan dengan kasih sayang dan membedahnya dengan lembut.

Sejalan dengan berkumandangnya konsep pembelajaran yang PAKEM ( Pembelajaran Aktif, Kreatif dan Menyenangkan ) berkumandang pula rumusan-rumusan tentang bagaimana sebaiknya dan seharusnya melakukan pembelajaran, meski sebenarnya rumusan ini bukan hal asing dalam Islam. Salah satu rumusan tersebut adalah: Jika anda mendidik dengan kasih sayang, anak akan belajar mengenal jati dirinya.

(Baca juga artikel Visi pendidikan pondok Pesantren Nurul Huda )

Beberapa hal detil mendidik dengan kasih sayang yang sering terabaikan dalam realitas antara lain, mendidik adalah dengan memberikan teladan, mengajak dan bukan dengan memerintah; Membangun semangat belajar adalah dengan memuji dan bukan dengan menghardik maupun menghukum:

  1. Mengeluarkan hati.

Hati adalah pusat kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual merupakan motor kecerdasan lainnya ( emosional dan intelektual ). Wujud riil kecerdasan spiritual adalah rasa cinta.

Kecintaan seseorang akan Rasul menjadi pembimbing manusia unuk mampu mengelola diri ( termasuk emosi ) untuk dapat menjadi pribadi yang stabil dan mampu mengaktualisasikan diri dalam mewujudkan maslahat sebagaimana teladan Sang Panutan. Sedangkan kecintaan terhadap Sang Khaliq mendorong hamba untuk berupaya mengeksplosari ayatayat kebesaran Allah SWT.

Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menumbuhkan perilaku yang transcendental. Apa yang menjadi tuntutan perilaku transcendental kemudian mendorong pribadi bagi perwujudan manfaat dan maslahat bagi diri sendiri dan orang lain. Kondisi ini kemudian mendorong berkembangnya kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektual dalam pribadi seseorang.

Kecerdasan memang bukan diciptakan. Ia hanya ditumbuh kembangkan. Tumbuh kembangnya kecerdasan ini harus didorong dengan memberikan rangsangan sekaligus motivasi untuk mengatasi tantangan.

  1. Melapangkan dengan pisau Ikhsan.

Kurikulum yang baik, tenaga pengelola pendidikan yang memiliki kompetensi serta dukungan dari lingkungan merupakan hal tak terbantahkan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pendidikan berkualitas. Persoalan mendasar yang kemudian harus dihadapi adalah bagaimana menentukan standar baku sebuah kurikulum yang baik.

Sebagai santri, jawaban yang harus diambil dalam hal ini adalah apa yang telah dibakukan para ulama adalah hal yang telah final. Hanya merekalah yang mampu menterjemahkan bagaimana seharusnya manusia mengemban amanah kekhalifahan. Para Ulama harus dipandang pula sangat faham tentang bagaimana mengupayakan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat.

Uraian selanjutnya, salah satu dasar utama untuk menentukan tingginya nilai kompetensi

tenaga pendidik adalah sifat ikhlas. Menjadi mukhlis memang bukan hal mudah, tetapi sebagai santri tentu tidak pantas untuk curang dalam hal kebenaran, enggan mengakui kekurangan dan kelemahan pribadinya.

  1. Mengambil bagianbagian dari Syaithan.

Akhlak madzmumah ( tercela ) seharusnya tidak dipandang hanya diwakili oleh wilayah hubungan antar manusia dan dengan batasanbatasan yang amat sempit. Akhlaq sesungguhnya juga mencakup wilayah hubungan antar manusia, hubungan dengan sesama makhluk serta hubungan manusia dengan Sang Pencipta, termasuk di sini adalah hubungan internal dalam diri pribadi.

Akhlaq tercela adalah bagianbagian dari syaitan, sedangkan akhlak terpuji adalah sebaliknya.

Sehubungan dengan dengan hal ini, untuk mempertegas bagaimana seharusnya kompetensi yang harus dimiliki tenaga pengelola pendidikan, sebuah pertanyaan besar muncul untuk menjadi landasan utama. Bagaimana dapat seseorang menanamkan akhlaq terpuji bagi para peserta didik, sedangkan ia sendiri tidak memilikinya?

  1. Memenuhi dengan sifat Bijak, Ilmu dan Ridlo.

Orang berilmu, memiliki sifat bijak serta hati yang dipenuhi rasa ridlo, tidak akan ada yang memungkiri bahwa ia adalah sumberdaya manusia unggul tiada cela. Sumberdaya pelaksana pembangunan yang sesungguhnya. Kapasitas kompetensi yang dimilikinya, kemampuan self control yang ada dalam dirinya serta semangat dalam hidupnya menjadikan mereka mampu menjadi agen pembangunan seutuhnya. Agen yang selalu dibutuhkan untuk mengawal akselerasi pembangunan secara baik, bahkan sempurna. Agen yang akan selalu mengucurkan hujan anugerah bagi masyarakat dan bangsa bahkan di tengah deraan gelombang globalisasi beserta dampak buruknya.

Gambaran yang sangat ideal tentang bagaimana sebuah pendidikan. Sebuah konsep dan pola pendidikan yang tidak akan lekang dimakan zaman Gambaran ideal yang seharusnya menjadi landasan pengelolaan pendidikan utamanya di lingkungan pesantren. Penulis yakin, tidak akan ada penolakan akan gambaran ideal sebagaimana di atas jika kejujuran menjadi landasan pemikiran kita.

Persoalannya adalah, bahwa konsep diatas harus diterjemahkan ke dalam pola yang operasional, yang untuk hal ini dibutuhkan sangat banyak energi. Kebersamaan dan semangat khidmat kepada para pendahulu secara tulus sangat cukup untuk menjadi modal awal membangun system pendidikan berkualitas bagi bangsa ini. Sistem pendidikan yang akan menghasilkan generasi tangguh pembangunan manusia seutuhnya.

Islam bersifat rahmatan lilaalamiin. Islam diturunkan untuk memberikan anugerah bagi alam, termasuk di dalamnya bagaimana seharusnya pendidikan dilaksanakan. Upaya implementasi akan hal ini yang sesungguhnya banyak mengalami kendala dari sisi manusiawi. Maka dari dalam konteks ini kemudian muncul predikat-predikatUlamaa’ulAamiluun, ‘Ulamaa’ulArifuun dan lain sebagainya.

Ulama memang segolongan orang terpilih yang sangat luas pandangannya. Berbeda dengan kita ( termasuk penulis khususnya ) yang sering tidak dapat memahami bahkan kepada ucapan sendiri. Derajat kita memang hanya sebatas golongan awam. Pemikiran para ulama selalu memiliki nilai lebih jika kita mampu menyadarinya. Nilai lebih ada pada kalangan awam yang selalu mengikut kepadaUlama.

Cak Imron.

Tulisan senada dapat dibaca dalam artikel dengan judul Fiqh dan Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

b

Pengikut

Mengenai Saya

Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia