Jumat, 10 April 2009

Cinta Kepada Nabi

Mencintai Muhammad

Rangkaian Sholaatullooh bait 1 sampai bait 4 bercerita tentang kafilah dan untanya yang sedang berziyarah ke Madinah. Perjalanan yang diringi tembang pujian para penunggang serta langkah kaki berirama para unta. Tembang pujian kepada Nabi kekasih dan langkah kaki yang digerakkan rindu dan cinta kepada Nabi junjungan. Pejalanan yang penuh kedamaian hati dan pengharapan akan kebahagiaan menjumpai kekasih pujaan.

Pada bait ke 5 Syaikh Abdurrahman Addiba’iy menyatakan : Maka lepaskanlah tali kekang unta dan jangan ragu untuk melepaskannya berjalan sendiri, karena rasa rindunya kepada Nabi yang akan menuntun langkahnya.”

Demikianlah, unta sang kafilah yang berjalan menuju Madinah tidak perlu lagi dikendalikan. Rasa cintanya akan Madinah dan Rasul junjungan menjadi penuntunnya agar segera sampai ke tujuannya.

Lalu pada bait yang ke 6 Syaikh Abdurrahman Ad Diba’iy menyatakan : Makamencintalah kamu sebagaimana unta yang mencinta ( yang berjalan kearahMadinah tanpa perlu dikendalikan tuannya ). Jika tidak demikian, maka jalanmencintamu adalah bohong belaka”.

Unta, makhluk yang hanya dibekali nafsu mampu mencinta dengan sebenar-benar cinta. Lalu bagaimana dengan makhluk yang juga dibekali dengan akal budi untuk mengimbangi nafsunya? Akankah cinta manusia ( yang derajatnya lebih tinggi karena dibekali akal budi ) kepada Rasul junjungan lebih rendah nilainya dibanding seekor unta? Bersahaja dan lugas sekali sang penyusun Dibamempertanyakan jati diri mukmin yang berkomitmen akan nilai sebagai ummat Muhammad.

Penyusun Dibamengingatkan agar kita memiliki tolok ukur akan cinta kita kepada Baginda Rasul, dan tentu saja kepada Al Khaliq pula. Beriramakah langkah pengabdian kita? Masihkah tulus hati kita saat terbakar lelah perjalanan perjuangan? Sebagaimana beriramanya langkah sang unta dan disertai senandung damai dalam perjalanannya menjumpai Nabi?

Bukan persoalan yang mudah menjawab pertanyaan di atas. Maka kemudian menjadi orang yang jujur menilai diri sendiri adalah langkah pokok membangun cinta kita. Tawaddluadalah modal paling besar dalam mencinta. Tawaddludan merasakan kekurangan dalam diri karena kita tidak mampu mencinta sebagaimana mestinya. Kehilangan tawaddluberarti kehilangan penghargaan atas keagungan orang / Dzat yang kita cintai.

Islam itu damai, dan pribadi-pribadi muslim adalah pribadi yang damai, yang dipenuhi rasa cinta. Dan tentang tamsil cinta sang unta, penyusun dibaseakan mengingatkan kita pada ayat Allah : Kemudian aku kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” ( At Tiin ayat 5 ).

Mencintai memang bukan sesuatu yang cukup diucapkan.Ia harus tulus tertanam dalam sanubari yang paling dalam. Sanubari yang membawa ingatan tak terputus dan utuh terhadap kekasih. Ingatan dan dorongan perilaku yang mampu menambah cinta dan kemesraan. Cinta menjadi motivasi dalam diri setiap insan. Maka orang yang mencintai Muhammad dan, tentu saja, tuhannya ia selalu beramal shaleh demi memperoleh ridlo dari Allah dan rasul-Nya. Orang yang benar-benar mencinta juga selalu berupaya memenuhi segala hal yang diinginkan kekasihnya. Orang yang mencinta tak bakal mengenal lelah demi memperoleh cinta kekasihnya.

Cinta juga menjadi pengikat dan self control. Maka dimanapun orang yang mencinta berada ia akan selalu ingat pada sang kekasih dan merindukannya. Rindu yang tak akan luruh oleh indahnya godaan dalam berbagai bentuk dan wujud.

Syaikh Abdurrahman Ad Diba’iy akhirnya menutup maulidnya dengan do’a yang salah satu poinnya: Ya Allah jangan jadikan kami golongan orang yang lupa kepada-Mu dan kepadanya ( Muhammad ) walau hanya sekejap. (Walaa Taj’alnaa minal ghoofiliina anka walaa anhu qadra sinah).

Tidak melupakan Allah artinya tidak pernah melupakan kekuasaan, kemurahan, keagungan serta amanah-Nya kepada kita. Tidak melupakan pula hal-hal yang menyebabkan kita ditolak oleh-Nya, bahkan mungkin tidak dilihat oleh-Nya karena demikian buruknya kita. Tidak melupakan Rasululloh berarti selalu mengingat keluhuran akhlaq, ketinggian derajat, kecintaan beliau akan sesuatu serta wasiat-wasiat yang beliau tinggalkan. Ingatan yang menyadarkan agar kita senantiasa berupaya meneladani serta menjaga wasiat beliau.

Apa yang Syaikh Abdurrahman Ad Diba’iy susun sesungguhnya adalah pelajaran akhlaq bagi kita, juga bagi anak cucu kita. Sudahkan pembekalan akhlaq terhadap generasi kita, bahkan terhadap diri kita sendiri telah mapan? Kejujuran kita sendiri dan Allah yang mengetahui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

b

Pengikut

Mengenai Saya

Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia